4 Jan 2013

Hari ke-4: Lihat Aku, Puteri

Aku mendengarnya menangis sekarang. Makin kencang. Dan hatiku serasa dilukai sembilan pisau fillet ikan. Tangismu sukses menjadikan hatiku bercabang sembilan. Sekarang sudah tidak berbentuk. Remuk. Aku ingin berteriak agar kau berhenti menangis. Tapi suaraku serasa diambil sembilan puluh menit yang lalu. Segera saat kamu mulai membisu. Aku ingin  meraihmu. Sekedar mengusap rambut legammu agar kau sedikit tenang. Atau menarik kepalamu ke dadaku yang kau bilang bidang. Tapi tanganku berubah kaku. Seperti dikutuk menjadi batu.

Apa sudah bisa membenci sekarang? Apa kau sudah sadar sekarang, kau terluka begitu dalam, Wahai Puteri? Bukan. Bukan aku sengaja. Bukan pula aku memintanya. Aku hanya seorang pecundang yang membiarkanmu menangis. Atau. Aku ini sebenarnya pecundang yang dipecundangi hatiku sendiri karena terlalu takut kau pergi. Apa aku sebodoh itu? Ya---bodoh.

"Jangan menangis, Tara", akhirnya suaraku kembali. Aku memaksanya kembali.

Dia masih menangis. Mungkin memaknai semua yang selama ini ditahannya. Mungkin juga tidak tau apa yang harus dikatakannya. Mungkin menjadi semakin terluka dengan sikapku yang hanya begitu-begitu saja. Atau. Mungkin. Hanya ingin menangis. Tanpa sebab. Hanya ingin aku ada disana. Sekarang.

"Aku benci dengan rindu", katanya. Tiba-tiba.
"Aku benci dengan jarak", tambahnya.
"Tapi aku tidak pernah bisa untuk tidak menempatkan rindu dihatiku. Dan aku tidak pernah bisa memotong jarak yang beribu ini untuk tiba-tiba ada disana", dia kembali terisak.

Aku membiarkannya mengoceh diujung sana. Dia akan tau kalau bukan cuma dia yang tersiksa. Ada yang selalu lebih tersiksa daripada dia. Ada yang selalu ingin membunuh rindu dan memenggal jarak dan waktu. Hanya untuk bisa bersamamu, Puteri. Kalau saja kamu bisa merasakan aku. Hatiku.

Kutitipkan satu rindu disetiap hembus nafasku. Tolong hitung berapa banyaknya aku bernafas setiap detik di tiap hariku. Kutitipkan segenggam cinta ditiap detik aku merindukanmu. Tolong hitung. Kalau kau mampu. Aku selalu merindu. Tolong lihat aku, Puteri. Sebentar saja. Sedetik saja. Aku akan selalu ada. Bahkan tanpa kau minta. Aku akan segera ada disana. Kalau saja akulah Pangerannya.

"Dim, salam salam buat Rendy ya kalau ketemu."
"Iya."
Maaf ya ngerepotin, makasih udah dengerin aku."
"Iya."
"Dim, kamu kenapa?"
"Gapapa."

No comments: