18 Mar 2013

Do not ever

Jangan pernah berpikir kamu yang berusaha sendiri saat berkerja bersama.
Jangan pernah berpikir kamu yang paling tulus dalam mencintai.
Jangan pernah berpikir kamu yang mencintai lebih dalam dari yang lain.
Jangan pernah berpikir kamu yang paling terluka saat disakiti.


Setidaknya, itu yang aku pikirkan sekarang. Bukan untuk siapa-siapa. Untuk diriku sendiri.
Aku bisa jadi lebih baik, aku kuat, dan aku tidak akan membalas menyakiti :)


17 Mar 2013

Perasaan

"Kalo bisa bohong, aku ingin tidak memerdulikan hatiku yang sedikit demi sedikit terkoyak. Tidak, bukan kamu yang mengoyak. Aku yang mengoyaknya sendiri, kok," wajahnya tersenyum tapi aku tau hatinya sedang terluka dan berdarah begitu hebat. Entah dia sedang tegar atau memang tidak ada pilihan selain tegar. Aku tidak tau dan tidak ingin tau bagaimana perasaannya. Dia mulai menangis, seperti biasanya. Membawa masalah-masalah kecil dalam tangisan yang entah kenapa membuat dadaku sedang dan tak kunjung hujan hatinya reda.

"Bisa ga kamu gausah nangis kalau ada masalah?" tanyaku, tidak tahan.

Dia tiba-tiba terdiam dan tersenyum kearah langit. Senyum yang terluka. Aku melukainya lagi. Orang yang begitu kucintai. Aku yang seharusnya menjadi orang pertama yang dia datangi untuk menjadi penenang, sekarang adalah pengacau nomor satu hatinya. Aku sadar, tapi aku tidak bisa tidak mengulang kesalahan. Baik, aku sekarang sedang memposisikan diriku sebagai orang paling bodoh yang pernah dia kenal.

"Gimana ya rasanya ditinggal pergi orang yang kita sayang? Orang yang udah bertahun-tahun bareng, orang yang selalu ada saat kita sedih, saat kita seneng, orang yang mungkin ga selalu bisa ada saat kita butuh, tapi dia sangat penting buat kita. Ga cukup ditinggal sehari-dua hari, tapi ditinggal pergi, jauuuuuuuh....banget, sampai kita gabisa ketemu lagi," dia tiba-tiba menggumam sendiri. Tapi telingaku menangkap dengan jelas setiap kata yang dia ucapkan. Jelas, sangat jelas. Aku tidak ingin menjawab. Aku tidak ingin membayangkan. Karena aku tidak ingin hal itu ada.

"Mungkin bakalan sakit banget. Mungkin abis dia pergi, kita jadi inget hal-hal buruk apa aja yang pernah kita lakuin ke dia, hal-hal nyenengin yang pernah kita lewatin bareng dia, semua kenangan muncul, dan rasa sakit karena ditinggalkan akan semakin menusuk. Aku udah sering liat orang-orang sekitarku kehilangan, dan dengan melihat mereka saja aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Pengen rasanya aku minta sama Tuhan sebuah penangguhan untuk tidak mengambil orang yang aku sayang, karena aku mungkin tidak akan tahan bagaimana sakitnya. Aku tidak ingin kehilangan. Cuma itu. Hehe," kembali dia melanjutkan monolognya dengan udara yang semakin sesak menghimpit dadaku. Sudah cukup. Aku juga tidak mau kehilangan. Cukup bicara hal yang tidak aku suka. Bisa?

"Aku pulang ya, Ram. Maaf ya udah ngerepotin disini. Aku lupa kalau kamu juga punya masalah, bukan cuma aku. Aku aja yang ga pernah mikirin kamu. Baik-baik ya. I love you, Love," katanya tiba-tiba. Aku menahannya, menariknya kearahku, memeluknya. Berharap dia tau kalau dia tidak pernah sekalipun merepotkanku atau menggangguku. Aku yang sering tidak mengertinya.

"Kenapa?" tanyanya.
"Maaf... Buat semuanya. Maafin aku ya,"
"Gapapa, kamu ga salah kok."
"Aku sayang kamu, Ra."
"Iya..."