9 Feb 2013

Hari ke-30: SHMILY

Kakek dan nenekku sudah lebih dari setengah abad menikah, namun tetap memainkan permainan istimewa itu sejak mereka bertemu pertama kali. Tujuan permainan mereka adalah menulis kata “shmily” di tempat yang secara tak terduga akan ditemukan oleh yang lain. Mereka bergantian menulis “shmily” dimana saja di dalam rumah. Begitu yang lain menemukan, maka yang menemukan sekali lagi mendapat giliran menulis kata itu di tempat tersembunyi.

Dengan jari mereka menorehkan “shmily” di dalam wadah gula atau wadah tepung, untuk ditemukan oleh siapapun yang mendapat giliran menyiapkan makanan. Mereka membuatnya dengan embun yang menempel pada jendela yang menghadap ke beranda belakang, tempat nenekku selalu menyuguhkan puding warna biru yang hangat, buatannya sendiri. “Shmily” dituliskan pada uap yang menempel pada kaca kamar mandi setelah seseorang mandi air panas; kata itu akan muncul berulang-ulang setiap kali ada yang selesai mandi. Nenekku bahkan pernah membuka gulungan tisu toilet dan menulis “shmily” diujung gulungan itu.

Shmily” bisa muncul dimana saja. Pesan-pesan singkat dengan “shmily” yang ditulis dengan tergesa-gesa bisa ditemukan di dasboard atau jok mobil, atau direkatkan pada kemudi. Catatan-catatan kecil itu diselipkan kedalam sepatu atau diletakkan dibawah bantal. “Shmily” digoreskan pada lapisan debu diatas penutup perapian atau pada timbunan abu di perapian. Di rumah kakek-nenekku, kata yang misterius itu merupakan sesuatu yang penting, sama pentingnya dengan perabotan.

Aku memerlukan waktu lama sekali sebelum benar-benar memahami dan menghargai permainan kakek-nenekku. Sikap skeptis membuatku tidak percaya bahwa cinta sejati itu ada—cinta yang murni mengatasi segala suka dan duka. Mesli begitu, aku tak pernah meragukan hubungan kakek-nenekku. Mereka sungguh saling mencintai. Dengan cinta yang lebih mendalam daripada kemesraan yang mereka tunjukkan; cinta adalah cara dan pedoman hidup mereka. Hubungan mereka didasarkan pada pengabdian dan kasih yang tulus, yang tidak semua orang cukup beruntung untuk mengalaminya.

Kakek dan Nenek selalu bergandengan tangan kapan saja kesempatan memungkinkan. Mereka berciuman sekilas bila bertabrakan di dapur mereka yang mungil. Mereka saling menyelesaikan kalimat pasangannya. Setiap hari mereka bersama-sama mengisiteka-teki silang atau permainan acak kata. Nenekku membisikkan kepadaku bahwa kakekku sangat menarik, dan bahwa semakin tua kakek semakin tampan. Menurut Nenek, dia tau “bagaimana membuat Kakek bahagia.” Sebelum makan mereka selalu menundukkan kepala dan mengucap syukur atas rahmat yang mereka terima: keluarga yang bahagia, rezeki yang cukup, dan pasangan mereka.

Tetapi, dalam kehidupan kakek-nenekku ada satu sisi kelam: nenekku menderita kanker payudara. Penyakit itu pertama kali diketahui sepuluh tahun sebelumnya. Sepertiyang selalu dilakukannya, Kakek mendampingi Nenek menjalani setiap tahap pengobatan. Dia menghibur Nenek di kamar kuning mereka, yang sengaja dicat dengan warna itu agar Nenek selau dikelilingi sinar matahari, bahkan ketika dia terlalu sakit untuk keluar rumah.

Sekali lagi kanker mnyerang tubuh Nenek. Dengan bantuan sebatang tongkat dan tangan kakekku yang kukuh, mereka tetap pergi ke gereja setiap pagi. Tetapi nenekku dengan cepat menjadi lemah sampai akhirnya dia tak bisa lagi keluar rumah. Kakek pergi ke gereja sendirian, berdoa agar Tuhan menjaga istrinya. Sampai pada suatu hari, apa yang kami takutkan terjadi. Nenek meninggal.

Shmily.” Kata itu ditulis dengan tinta kuning pada pita-pita merah jambu yang mrnghiasbuket bunga duka untuk nenekku. Setelah para pelayat semakin berkurang dan yang terakhir beranjak pergi, para paman dan bibiku, sepupu-sepupuku, dan anggota keluarga lainnya maju mengelilingi Nenek untuk terakhir kali. Kakek melamhkah mendekati peti mati nenekku lalu, denagn suara bergetar, dia menyanyi untuk Nenek untuk yang terakhir kalinya. Bersama air mata dan kesedihannya, lagi itu dinyayika; lagu ninabobo dalam alunan suara yang dalam dan parau.

Tergetar olah kesedihanku sendiri, aku takkan pernah melupakan saat itu. Karena pada saat itulah, meskipun aku belum dapat mengukur dalamnya cinta mereka, aku mendapat kehormatan menjadi saksi keindahannya yang abadi.

S-H-M-I-L-Y : See How Much I Love You
-Laura Jeanne Allen

No comments: