28 Dec 2012

Nowhere | Now//here

"Long time no see, mate. Apa kabar? Apa kau baik disana? Sedang sibukkah meneduh dari serbuan air yang selalu turun deras di kotamu pada bulan-bulan seperti ini? Atau kau bahkan tidak perduli dengan mereka sehingga membiarkan tubuhmu basah oleh hujan yang bisa membuatmu terserang flu berat berhari-hari? Kamu tidak tahan dingin, aku tau itu. Lalu kenapa aku tanyakan ini pada orang yang tidak tahan dingin? Haha. Aku tidak tau harus menulis apa. Aku hanya rindu. Tapi kita tidak kunjung bertemu. Aku harap kau tidak lupa mantel tebalmu."

Dia menyelipkan note itu diantara buku yang selesai dibacanya. Mulai membungkus buku itu rapi, seperti kado yang tidak ingin kelihatan apa isinya. Menuliskan alamat seseorang dengan sangat hafal, bahkan memejam pun, aku rasa alamat itu tetap tertulis rapi di muka amplopnya. Tidak lupa dia menyelipkan berton-ton rasa rindu yang tidak akan pernah terbayangkan oleh Dimas, kekasih, bukan, orang yang yang selama ini dia cintai. Dalam diam.

"Aku harap, walalupun aku tidak menyertakan namaku, kamu akan tau siapa pengirimnya", dia berbisik.

Sudah selesai pekerjaannya hari ini. Merindui orang yang tidak akan pernah tau dirindukan. Sudah selesai pekerjaannya hari ini. Merindukan orang yang sama bahkan setiap jam. Kalo ada penghargaan tentang siapa yang paling lama bisa merindu, mungkin Ditta akan jadi salah satu nominator yang berjajar diatas panggung, dan aku bertaruh dia yang akan membawa tropi penghargaan itu sebagai Orang yang Paling Betah Merindu. Menunggu. Yang tidak akan pernah berujung.

"Dimas... Kamu disana baik-baik kan?", sekali lagi dia bertanya dalam bisik. Bertanya kepada angin.

oOo

Dimas sedang berteduh diantara berjubelnya manusia. Dia tidak ingin basah karena hujan yang selalu berhasil menjadikannya terkena flu berat. Bukan hanya dalam hitungan hari, tapi minggu. Ibunya sudah telpon hampir genap enam kali, khawatir Dimas nekat menerobos hujan dengan mantel seadanya. Dia tidak memakai mantel tebalnya. Anak ceroboh yang selalu minta diingatkan. Dia tidak tau ada orang yang selalu berharap bisa mengingatkannya agar tidak lupa memakai mantelnya. Tapi Dimas terlalu tidak ingin tau. Atau bahkan dia benar-benar tidak pernah tau orang itu ada.

Beberapa hari dari hari itu, ada sebuah pos untuknya. Berisi sebuah buku, karya Ditta Indriana. Dan didalamnya terdapat sebuah note bergambarkan seorang gadis kecil memeluk bantal berbentuk hati erat. Serta sebuah alamat email yang sama dengan penulis buku itu. Ditta Indriana. Ditta Indriana. Ditta Indriana. Kini bibir itu tidak berhenti merapal namanya seperti sebuah mantra yang akan membawa Ditta Indriana sekejap hadir dihadapannya.

"Ditta Indriana", ketiknya. Dan dengan segera email itu terkirim.
"Saya Ditta, who's there?", email berbalas.
"Dimas Farerean. Makasih bukunya, aku tidak ingat punya teman bernama Ditta Indriana. Boleh tau kamu siapa? Maaf aku lupa."
"Aku Ditta. Ditta Indriana."
"Ditta... Ditta... Ditta..."

oOo

Mereka kini berbincang. Mereka kini bertanya dalam hati masing-masing. Adakah nama mereka disitu. Padahal mereka selalu disitu. Tidak pernah sekalipun berpindah. Berbagi getaran yang sama. Berdetak dengan satu irama. Cinta. Love is here. Now. Here (heart).


"Love is real, real is love | Love is wanting to be loved
Love is you | You and me
Love is knowing | You can be..."

No comments: