13 Jun 2012

Angin selalu tau jalan pulang

"Apa sih yang kamu cari? Sekedar punggung bidang yang kelihatan hangat? Yang bisa memelukmu dan menghangatkan kesepianmu?"
"Kamu ga akan ngerti rasanya."
"Kalo kamu bilang aku ga ngerti, terus selama ini siapa yang selalu aku ngertiin? Kalo kamu bilang aku ga ngerti, terus sakit yang selama ini berdenyut setiap kali kamu nangis, itu apa?"

Anggunku terdiam lama setelah kuberondong pertanyaan. Entah berusaha memikirkan jawabannya atau karena memang tidak ingin bicara. Memberikan jawaban bisu yang menggaung ke udara.

"Kamu ga akan ngerti, Ram!"
"Apa yang aku ga ngerti? Kamu yang ga akan ngerti! Kamu itu kaya lagi di tengah laut. Ada air dimana-mana, tapi kamu ga mau sedikitpun mencicipi airnya. Aku selalu ada sama kamu, tapi kamu ga pernah mau sedikitpun ngerti sama perasaanku. Kamu memang selalu pengen dingertiin, Nggun. Kamu ga pernah mau ngerti orang lain. Ga pernah. Kamu selalu sibuk sama duniamu. Aku selalu ngejar masuk, tapi kamu lari terlalu kenceng dan aku gabisa ngejer lebih cepet. Aku sayang kamu. Dan kamu ga pernah tau itu."

Anggun menutup telinganya. Menenggelamkan kepalanya ke sudut terdalam. Mungkin akan mulai lagi drama seperti biasanya. Saat dia sudah tertunduk dalam. Aku akan reflek mendekat dan memeluk hangat kepalanya. Mendekatkan telinganya di dekat jantungku. Agar dia tau bukan hanya dia yang terluka. Tapi aku juga. Lebih dalam. Sudah terlalu busuk luka ini sampai sudah mati rasa.

oOo

"Sorry, Nggun. Perasaan itu ga pernah bisa dicegah. Perasaan itu datang sendirian. Ga ngetok pintu dulu. Ga pake salam. Tiba-tiba udah masuk. Kaya jamur. Tiba-tiba ada disitu dan tumbuh. Jangan nyalahin aku karena aku punya perasaan kaya gini. Aku juga ga pernah nyalahin kamu untuk punya perasaan yang sama. Meskipun perasaan itu bukan buat aku. Ada hal lain yang lebih indah. Kalo kamu bisa tau ini. Dan itu udah lebih dari cukup buat aku."

Aku cuma diam didekapan Rama. Membiarkan dia mengoceh sesukanya. Aku bahkan tidak terlalu peduli dia bicara apa. Yang aku tau, sekarang aku sedang berlindung di dada hangat seorang sahabatku. Dan aku belum mau beranjak dari sana. Aku ingin berlari dari dunia ini sebentar. Di dekapannya yang sudah selama 5 tahun selalu ada untuk kubanjiri air mata.

"Gapapa, Ram. Kaya apa yang kamu bilang. Perasaan itu ga pernah bisa minta atau nolak. Dia dateng sendiri kaya angin. Mungkin aku yang selama ini pake kacamata kuda. Ada secangkir anggur putih yang selalu nemenin aku, tapi aku malah nunggu air putih yang ga kunjung dateng. Kamu selalu bisa ngertiin aku. Kamu setiap saat ada buat aku. Makasih banget."
"Sahabat itu selalu memberikan yang terbaik. Dan cinta itu cuma bumbu lebih yang seharusnya ga ada."
"Ram, jangan berhenti suka aku ya."

Rama diam. Entah karena luka di hatinya semakin meradang atau karena dia tidak tau harus menjawab apa.

"Iya."

Jawaban singkat itu keluar dari bibirnya tanpa ada ekspresi khusus di mukanya. Datar. Lalu Rama mendekapku dan menangis. Rama. Sahabatku yang selama ini selalu tegar. Sahabatku yang selalu terlihat kuat. Ternyata dia juga masih manusia yang bisa terluka.

"Biarkan aku seperti ini dulu. Biarkan kamu seperti itu dulu. Dan biarkan kita seperti ini dulu. Setelah ini, kubiarkan alam yang akan membawa aku, kamu, dan kita kemana perginya. Itu masih rahasia yang aku tidak ingin menebak-nebak."
"Ram, yang jelas punggungmu adalah nomer wahid. Dan kamu selalu jadi orang terwahid disini."

Aku menunjuk dadaku. Ya. Tanpa aku sadari sebenarnya yang selama ini aku cari ada di Rama. Aku akan melepas kacamata kuda yang selama ini aku pakai. Aku akan melihat semuanya dari mataku sendiri sekarang. Tanpa terhalang. Aku, kamu, dan kita, membiarkan semua berjalan sesuai arah angin membawa kita. Angin yang akan membawa aku, kamu, kita, pulang ke tempat yang seharusnya.


No comments: